Rabu, 10 Mei 2017

Logo MTs GUPPI Jatiroto



Minggu, 22 Januari 2017

Ajining Raga Saka Busana


Oleh: Kistanto, S.Pd (Guru Bahasa Indonesia MTs GUPPI Jatiroto)
 
Di era modern sekarang ini muncul berbagai mode dalam hal busana.  Para perancang busana berlomba-lomba untuk menciptakan busana yang diminati oleh khalayak ramai. Dari keterampilannya, mereka menumbuhkan sebuah produk yang laku di pasaran. Tak heran jika di pasaran muncul beraneka ragam pilihan busana yang diperjualbelikan. Itu semua hasil kreativitas manusia yang dituntut untuk selau berkembang,  baik dari busana jilbab, baju, celana, rok, selalu mengalami perkembangan. Perkembangan dalam industri busana sebaiknya disesuaikan dengan aturan-aturan busana yang diperbolehkan dalam syariat Islam.
Islam sebagai agama yang sempurna memberi kebebasan mode dalam hal busana asalkan sesuai dengan syariat Islam. Kita semua bebas untuk membeli busana sesuai dengan keinginan kita, karena busana mampu membuat pemakainya lebih cantik, sehingga perlunya kehati-hatian dalam memilih busana. Kita yang sebagian besar memeluk agama Islam tentunya harus mengetahui busana mana yang pantas dan tidak pantas kita kenakan.  Tidak seperti sekarang ini banyak sekali terutama kaum perempuan yang menggunakan busana yang kurang pantas. Dapat kita lihat dalam kehidupan sehari-hari di lingkungan kita, mereka mempertontonkan busana yang tidak sesuai dengan aturan-aturan Islam. Banyak pelajar, mahasiswa, bahkan orang dewasa menggunakan busana yang tidak sesuai dengan syariat Islam. Hal itu karena kita sekedar memburu trend dan condong meniru budaya barat serta  meniru publik figur yang kurang sesuai dalam mengenakan busana.
Busana yang dikenakan baik laki-laki maupun perempuan memiliki maksud untuk menutup aurat, menjaga fitnah dan sebagai penghormatan. Apalagi seorang wanita yang diciptakan oleh Tuhan dengan kehususan di setiap lekuk tubuhnya, perlu untuk dijaga pemiliknya. Penjagaan itu berupa busana yang mereka kenakan, karena aturan-aturan yang ada dalam agama memiliki fungsi yang baik guna menjalani kehidupan ini. Aturan itu muncul untuk menyempurnakan ibadah seseorang, tentunya keinginan seseorang untuk selalu mendekatkan diri kepada sang pencipta. Tuhan mencintai orang yang mau mentaati peraturannya, tetapi apabila seseorang sudah dibenci oleh sang pencipta karena melanggar aturanya, apakah akan mengarapkan kasih sayangnya? Ibadah seseorang tak hanya menjalankan shalat, zakat, puasa, maupun haji, tetapi lebih dari itu, misanya dalam berbusana. Sudah dijelaskan baik dalam Al Qur’an maupun hadist bahwasanya seseorang diwajibkan untuk menutupi aurat dan tidak menimbulkan syahwat bagi lawan jenis atau yang bukan mukhrim dalam hal berbusana.
Seseorang yang kurang tepat dalam memakai busana, misalnya seorang wanita yang memakai hot pen, celana ketat, baju ketat di tempat yang bukan mestinya dan dipertontonkan kepada yang bukan mukhrim tentunya akan menimbulkan sebuah dosa besar. Hal itu sudah diterangkan dalam al qur’an maupun hadist, jadi bila seseorang dalam berbusana tidak sesuai dengan syariat Islam  seperti halnya dengan melanggar agamanya sendiri, melanggar aturannya sendiri, menginjak-injak harga dirinya sendiri, karena sebuah busana menunjukkan harga dirinya. Seperti falsafah jawa yang mengatakan ajining raga saka busana. Sebuah kalimat orang jawa yang memiliki makna yang begitu mendalam, karena sebuah harga diri manusia terletak dalam pakaian yang mereka kenakan.  Islam adalah agama yang menekankan pentingnya penghormatan kepada sesama manusia dan tidak memaksakan kehendak seseorang. Semua manusia adalah sama dan berasal dari sumber yang satu, yaitu Tuhan, yang membedakannya hanyalah prestasi dan kualitas takwanya.
Kualitas takwa seseorang tidak hanya dilihat dari shalat, puasa, zakat, maupun haji, tetapi dari busana yang mereka kenakan. Menurut Istadiyanta (1994) busana muslimat adalah suatu langkah untuk kesempurnaan beribadat, kesempurnaan akhlak. Tepat sekali apa yang dikatakan, karena seseorang yang menggunakan busana yang sesuai dengan syariat Islam di kehidupan sehari-harinya tentu memiliki nilai kualitas beribadah yang tinggi. Sebuah kualitas ibadah yang dilakukan seseorang akan menimbulkan seberapa baik akhlak orang tersebut. Orang yang memiliki takwa dengan kualitas baik, tentunya juga memiliki akhlak yang baik pula.
Dari busana dapat memicu adanya permasalahn yang beraneka ragam. Misalnya,  kesenjangan sosial antara si kaya dan si miskin, pemerkosaan, pencabulan, pelecehan seksual dan aktor utamanya tentu seorang laki-laki yang tidak kuat imannya.  Adanya kasus seperti itu  tentunya dapat di gunakan oleh pemakai busana untuk berintrospeksi dalam mengenakan busananya. Busana yang sesuai dengan syariat islam juga berpengaruh terhadap diri seseorang untuk mengurangi perbuatan dosa. Dosa yang ditimbulkan dari sebuah busana jika dilakukan setiap hari tentunya akan menjadi dosa besar di kelak kemudian hari. Seperti pepatah yang mengatakan sedikit demi sedikit lama-lama menjadi bukit. Untuk itu marilah kita semua untuk mentaati aturan-aturan yang sudah jelas diterangkan dalam al kitab kita. Kita hidup bukan sekedar memburu tren dan gengsi, kita seharusnya menyadari kita kemana akan kembali dan kepada siapa akan kembali. 
Sebuah bangsa tidak akan di beri ujian apabila bangsa tersebut tidak melanggar aturan-aturan yang ditetapkan olehNya. Adanya bencana banjir, tanah longsor, tsunami, angin puting beliung dan masih banyak yang lain itu tidak semata-mata gejala alam, tetapi sebuah peringatan dari sang Khalik kepada umatnya untuk memperbaharui akhlaknya. Akhlak manusia yang mulai menurun di era saat ini disebabkan karena semakin merosotnya nilai keimanan diri kita masing-masing. Maka dari itu marilah kita untuk selalu menyadari dari sebuah fenomena yang terjadi di sekitar lingkungan kita. Bukankah kita hidup untuk beribadah kepada sang pencipta maka dari itu marilah kita menuju ke hal yang lebih baik lagi dengan pembaharuan akhlak kita masing-masing. Apalagi sebentar lagi akan menjalani Ibadah bulan suci, sehingga waktu untuk introspeksi dan langkah yang tepat untuk merubah akhlak untuk menuju kesempurnaan ibadah kita.

Selasa, 17 Januari 2017

Memudarnya Budaya Literasi Seorang Pelajar


Oleh: Kistanto, S.Pd (Guru Bahasa Indonesia MTs GUPPI Jatiroto)

Problematika yang ada di Indonesia khususnya dunia pendidikan begitu beragam. Seolah pendidikan kita sedang sakit kritis. Sakit yang diderita pendidikan perlu penanganan yang serius. Perlu dokter ahli dalam penanganan ini. Penyakit komplikasi yang di derita yang tidak kunjung sembuh akan memperburuk hasil dari pendidikan itu sendiri. Sudah hamper 30 tahun sistem pendidikann kita berjalan. Selama bertahu tahun itupun sudah banyak sekali perubahan dari segi kurikulum dan sebagainya. Tentunya dengan pergantian kurikulum tersebut diharapkan mampu mencapai tujuan pendidikan itu sendiri, namun hal tersebut sampai saat ini belum mampu menghasilkan apa tujuan pendidikan itu sendiri. Pendidikan yang suci ternodai dengan berbagai kasus yang mencoreng nama pendidikan.
Nama pendidikan semkain tercoreng beberapa tahun terakhir ini. Kita dapat melihat sendiri berbagai kasus yang beragam yang berkaitan dengan pendidikan. Baik yang dapat kita lihat di media elektronik, media masa maupun dari mulut ke mulut. Beragam kasus yang terjadi di lingkungan pelajar kita. Ada tawuran pelajar, kasus pencabulan terhadap pelajar, dan lain sebagainya.
Saya menganggap permasalahan yang ada ini perlu ditangani dengan serius. Perlu ditata ulang sistem pendidikan kita ini agar menghasilkan generasi anak bangsa yang berilmupengetahuan luas yang berlandaskan iman dan taqwa. Tidak hanya kurikulum atau sekolah yang bertanggung jawab, tetapi semua elemen yang ada harus bahu membahu terhadap permasalahan ini. Tanpa ada kerjasama dari semua elemen yang ada, mustahil pendidikan akan mencapi tujuannya.
Salah satu solusi yang dapat mengurangi permasalahn yang ada di Indonesia ini adalah dengan menumbuhkan budaya literasi di kalangan pelajar sekolah. Budaya membaca dan menulis merupakan sebuah langkah yang tepat karena dengan budaya dan menulis seorang pelajar akan memiliki wawasan yang luas. Malu rasanya jika kita sebagai Negara yang memiliki banyak penduduk dan sumber daya alam yang melimpah tetapi miskin secara ekonomi, moral, dan intelektual.

Membaca dan Menulis
Buku-buku yang tersebar dimana-mana tentunya mudah sekali kita dapatkan, seperti perpustakaan, laboratorium, toko buku serta banyaknya acara bedah buku dan pameran buku di setiap tahunnya. Hal itu sangat mendukung seorang pelajar untuk membaca dan menulis. Mesin cetak di penerbitan buku tidak berhenti untuk mencetak buku-buku bacaan, ditambah adanya kemajuan yang pesat di bidang elektronika memudahkan kita mendapatkan bacaan.
Pelajar sekarang ini seolah dininabobokkan. Mereka lebih senang berpacaran, ngegame berjam-jam, chatting dan masih banyak lagi. Hal-hal yang kurang bermanfaat mereka lakukan secara rutin, namun kesanggupan untuk membaca buku dan menulis masih minim. Kita dapat melihat dari tugas-tugas mereka, banyak sekali yang copy paste dari internet. Dari berbagai fakta tersebut menunjukkan bahwa membaca dan menulis bukan menjadi  budaya seorang pelajar. Hal itu sangat bertolak belakang dengan era-era sebelum Soeharto, di masa itu banyak seorang pembaca yang getol. Seperti mohammad Hatta, Soekarno, Syahrir, dan masih banyak lagi tokoh-tokoh yang berkutu buku. Tentunya mereka menjadi orang yang memiliki intelektual tinggi.
Kaum inteletual bukanlah mereka yang belajar di perguruan tinggi maupun mereka yang telah memiliki gelar seabrek yang ditunjukkan dengan selembar ijazah, tetapi mereka adalah orang yang terpelajar serta memiliki nilai-nilai plus. Seperti diungkapkan Padmadinata (1987) bahwa kaum intelektual atau intelegensia adalah mereka yang terpelajar-plus. Saya kira plus di sinilah yang sangat penting dimiliki oleh seorang intelektual karena plusnya lah seorang intelektual dapat dikategorikan sebagai orang yang memiliki kualitas. Nilai plus yang dimiliki oleh seorang intelektual selain pengetahuannya tetapi juga dalam hal karakter yang dimiliki, skill yang mumpuni serta selalu mengabdikan diri kepada masyarakat.