Oleh: Kistanto, S.Pd (Guru Bahasa Indonesia MTs GUPPI Jatiroto)
Problematika yang ada di Indonesia khususnya dunia pendidikan begitu
beragam. Seolah pendidikan kita sedang sakit kritis. Sakit yang diderita
pendidikan perlu penanganan yang serius. Perlu dokter ahli dalam penanganan
ini. Penyakit komplikasi yang di derita yang tidak kunjung sembuh akan
memperburuk hasil dari pendidikan itu sendiri. Sudah hamper 30 tahun sistem
pendidikann kita berjalan. Selama bertahu tahun itupun sudah banyak sekali
perubahan dari segi kurikulum dan sebagainya. Tentunya dengan pergantian
kurikulum tersebut diharapkan mampu mencapai tujuan pendidikan itu sendiri,
namun hal tersebut sampai saat ini belum mampu menghasilkan apa tujuan
pendidikan itu sendiri. Pendidikan yang suci ternodai dengan berbagai kasus
yang mencoreng nama pendidikan.
Nama pendidikan semkain tercoreng beberapa tahun terakhir ini. Kita
dapat melihat sendiri berbagai kasus yang beragam yang berkaitan dengan
pendidikan. Baik yang dapat kita lihat di media elektronik, media masa maupun
dari mulut ke mulut. Beragam kasus yang terjadi di lingkungan pelajar kita. Ada
tawuran pelajar, kasus pencabulan terhadap pelajar, dan lain sebagainya.
Saya menganggap permasalahan yang ada ini perlu ditangani dengan serius.
Perlu ditata ulang sistem pendidikan kita ini agar menghasilkan generasi anak
bangsa yang berilmupengetahuan luas yang berlandaskan iman dan taqwa. Tidak
hanya kurikulum atau sekolah yang bertanggung jawab, tetapi semua elemen yang
ada harus bahu membahu terhadap permasalahan ini. Tanpa ada kerjasama dari
semua elemen yang ada, mustahil pendidikan akan mencapi tujuannya.
Salah satu solusi yang dapat mengurangi permasalahn yang ada di
Indonesia ini adalah dengan menumbuhkan budaya literasi di kalangan pelajar
sekolah. Budaya membaca dan menulis merupakan sebuah langkah yang tepat karena
dengan budaya dan menulis seorang pelajar akan memiliki wawasan yang luas. Malu
rasanya jika kita sebagai Negara yang memiliki banyak penduduk dan sumber daya
alam yang melimpah tetapi miskin secara ekonomi, moral, dan intelektual.
Membaca dan Menulis
Buku-buku yang tersebar
dimana-mana tentunya mudah sekali kita dapatkan, seperti perpustakaan,
laboratorium, toko buku serta
banyaknya acara bedah buku dan pameran buku di setiap tahunnya. Hal itu sangat
mendukung seorang pelajar
untuk membaca dan menulis. Mesin cetak di penerbitan buku tidak berhenti untuk
mencetak buku-buku bacaan, ditambah adanya kemajuan yang pesat di bidang
elektronika memudahkan kita mendapatkan bacaan.
Pelajar sekarang ini seolah dininabobokkan.
Mereka lebih senang berpacaran, ngegame berjam-jam, chatting dan masih banyak lagi. Hal-hal yang kurang bermanfaat
mereka lakukan secara rutin, namun kesanggupan untuk membaca buku dan menulis
masih minim. Kita dapat melihat dari tugas-tugas mereka, banyak sekali yang copy paste dari internet. Dari berbagai
fakta tersebut menunjukkan bahwa membaca dan menulis bukan menjadi budaya seorang pelajar. Hal itu sangat
bertolak belakang dengan era-era sebelum Soeharto, di masa itu banyak seorang pembaca yang getol. Seperti
mohammad Hatta, Soekarno, Syahrir, dan masih banyak lagi tokoh-tokoh yang
berkutu buku. Tentunya mereka menjadi orang yang memiliki intelektual tinggi.
Kaum inteletual bukanlah
mereka yang belajar di perguruan tinggi maupun mereka yang telah memiliki gelar
seabrek yang ditunjukkan dengan selembar ijazah, tetapi mereka adalah orang
yang terpelajar serta memiliki nilai-nilai plus. Seperti diungkapkan Padmadinata (1987) bahwa kaum intelektual
atau intelegensia adalah mereka yang terpelajar-plus. Saya kira plus di sinilah yang sangat penting dimiliki oleh
seorang intelektual karena plusnya
lah seorang intelektual dapat dikategorikan sebagai orang yang memiliki
kualitas. Nilai plus yang dimiliki
oleh seorang intelektual selain pengetahuannya tetapi juga dalam hal karakter
yang dimiliki, skill yang mumpuni serta selalu mengabdikan diri kepada
masyarakat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar