Selasa, 17 Januari 2017

Memudarnya Budaya Literasi Seorang Pelajar


Oleh: Kistanto, S.Pd (Guru Bahasa Indonesia MTs GUPPI Jatiroto)

Problematika yang ada di Indonesia khususnya dunia pendidikan begitu beragam. Seolah pendidikan kita sedang sakit kritis. Sakit yang diderita pendidikan perlu penanganan yang serius. Perlu dokter ahli dalam penanganan ini. Penyakit komplikasi yang di derita yang tidak kunjung sembuh akan memperburuk hasil dari pendidikan itu sendiri. Sudah hamper 30 tahun sistem pendidikann kita berjalan. Selama bertahu tahun itupun sudah banyak sekali perubahan dari segi kurikulum dan sebagainya. Tentunya dengan pergantian kurikulum tersebut diharapkan mampu mencapai tujuan pendidikan itu sendiri, namun hal tersebut sampai saat ini belum mampu menghasilkan apa tujuan pendidikan itu sendiri. Pendidikan yang suci ternodai dengan berbagai kasus yang mencoreng nama pendidikan.
Nama pendidikan semkain tercoreng beberapa tahun terakhir ini. Kita dapat melihat sendiri berbagai kasus yang beragam yang berkaitan dengan pendidikan. Baik yang dapat kita lihat di media elektronik, media masa maupun dari mulut ke mulut. Beragam kasus yang terjadi di lingkungan pelajar kita. Ada tawuran pelajar, kasus pencabulan terhadap pelajar, dan lain sebagainya.
Saya menganggap permasalahan yang ada ini perlu ditangani dengan serius. Perlu ditata ulang sistem pendidikan kita ini agar menghasilkan generasi anak bangsa yang berilmupengetahuan luas yang berlandaskan iman dan taqwa. Tidak hanya kurikulum atau sekolah yang bertanggung jawab, tetapi semua elemen yang ada harus bahu membahu terhadap permasalahan ini. Tanpa ada kerjasama dari semua elemen yang ada, mustahil pendidikan akan mencapi tujuannya.
Salah satu solusi yang dapat mengurangi permasalahn yang ada di Indonesia ini adalah dengan menumbuhkan budaya literasi di kalangan pelajar sekolah. Budaya membaca dan menulis merupakan sebuah langkah yang tepat karena dengan budaya dan menulis seorang pelajar akan memiliki wawasan yang luas. Malu rasanya jika kita sebagai Negara yang memiliki banyak penduduk dan sumber daya alam yang melimpah tetapi miskin secara ekonomi, moral, dan intelektual.

Membaca dan Menulis
Buku-buku yang tersebar dimana-mana tentunya mudah sekali kita dapatkan, seperti perpustakaan, laboratorium, toko buku serta banyaknya acara bedah buku dan pameran buku di setiap tahunnya. Hal itu sangat mendukung seorang pelajar untuk membaca dan menulis. Mesin cetak di penerbitan buku tidak berhenti untuk mencetak buku-buku bacaan, ditambah adanya kemajuan yang pesat di bidang elektronika memudahkan kita mendapatkan bacaan.
Pelajar sekarang ini seolah dininabobokkan. Mereka lebih senang berpacaran, ngegame berjam-jam, chatting dan masih banyak lagi. Hal-hal yang kurang bermanfaat mereka lakukan secara rutin, namun kesanggupan untuk membaca buku dan menulis masih minim. Kita dapat melihat dari tugas-tugas mereka, banyak sekali yang copy paste dari internet. Dari berbagai fakta tersebut menunjukkan bahwa membaca dan menulis bukan menjadi  budaya seorang pelajar. Hal itu sangat bertolak belakang dengan era-era sebelum Soeharto, di masa itu banyak seorang pembaca yang getol. Seperti mohammad Hatta, Soekarno, Syahrir, dan masih banyak lagi tokoh-tokoh yang berkutu buku. Tentunya mereka menjadi orang yang memiliki intelektual tinggi.
Kaum inteletual bukanlah mereka yang belajar di perguruan tinggi maupun mereka yang telah memiliki gelar seabrek yang ditunjukkan dengan selembar ijazah, tetapi mereka adalah orang yang terpelajar serta memiliki nilai-nilai plus. Seperti diungkapkan Padmadinata (1987) bahwa kaum intelektual atau intelegensia adalah mereka yang terpelajar-plus. Saya kira plus di sinilah yang sangat penting dimiliki oleh seorang intelektual karena plusnya lah seorang intelektual dapat dikategorikan sebagai orang yang memiliki kualitas. Nilai plus yang dimiliki oleh seorang intelektual selain pengetahuannya tetapi juga dalam hal karakter yang dimiliki, skill yang mumpuni serta selalu mengabdikan diri kepada masyarakat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar